Sumpah, Aku Ikhlas - SAHATAonline
Headlines News :
Home » , » Sumpah, Aku Ikhlas

Sumpah, Aku Ikhlas


Oleh: Elma Yeha
Aku masih saja seperti dulu. Dulu, seperti aku masih di bangku kuliah, tiga tahun lalu. Aku selalu tak dapat memejamkan mata, membawa hanyut lamunan menjadi mimpi di alam lain. Aku tak bisa membiarkan lelah mata ini menggelayut dan membuat kesadaranku hanyut dalam tidur dalam. Aku sungguh tak bisa membiarkan beban pikiranku tertinggal di luar sana, ku tak selalu membawanya kesini, ke peraduan yang sunyi ini. Meski malam selarut ini, aku betul betul tak kuasa.

Tiga tahun lalu, aku juga begini. Ketika rinduku memuncak, kucoba menulis sms, dan mengirimnya. Oh, gagal… pulsaku habis. Semalaman aku mendengar lagu lagu syahdu yang dilantunkan begitu indah oleh Kiroro, dan terkadang Magdah Roumi, hingga sampai azan subuh berkumandang. Sekarang ini, aku seperti dulu bukan karena rindu itu lagi. Aku sudah tak boleh lagi rindu dan bahkan ingat pun telah menjadi terlarang bagiku. Sungguh aku tak boleh seperti itu. Bagaimana mungkin aku mengingat calon istri orang lain, bagaimana mungkin aku rindu padanya lagi.

Minggu lalu aku baru saja menginjakkan kaki di bumi Indonesia ini, sejak tujuh tahun lalu kutinggalkan. Sebenarnya ingin rasanya aku sujud di bumi ini, menggenggam erat tanahnya, lalu menciumnya. Ku tatap jauh langit bandara Kuala Namu yang dulu belum ada ketika aku pergi ke Mesir meninggal Indonesia. Bandara itu baru saja digunakan beberapa bulan belakangan ini, sebelumnya bandara Polonia Medan. Besar betul rinduku pada tanah negeri Indonesia ini, bumi Medan, tempat aku lahir dilahirkan di sebuah kota kecil sebelah Timur Sumatera Utara.

Sebelum aku sampai ke negeri ini, rasanya aku ingin langsung ke Samarinda. Tapi kurasa ada baiknya aku ke Medan lebih dulu. Keluargaku semuanya tinggal di Medan, dan memang tak ada lagi alasan bagiku tuk ke Samarinda sana. Kini sudah lain, berbeda dari dua tahun lalu, ketika aku berangan angan pulang dan langsung ke Samarinda. Dulu masih ada Eli yang ingin kujumpai, tuk melepas rindu dendam yang kupendam bersama ribuan bahkan jutaan kerinduan. Sekarang Eli sudah tak boleh lagi kurindui, sudah terlarang.

Kemarin, aku sampai juga ke pulau Jawa, aku berangkat dari Medan. Meski harus transit di Jakarta, akhirnya setelah empat jam setengah aku tiba di bandara Adi Sucipto Jogjakarta. Dari bandara aku langsung mengambil taxi menuju Magelang. Tujuanku rumah Eli. Tentu saja lelahku tak tertahankan, membuat aku harus mencari hotel murah sekedar melepas penat perjalan yang hampir membuatku pingsan. Setelah cukup istirahat, aku melanjutkan perjalanan ke rumah Eli. Meski tak jauh, hanya sekitar tiga puluh menitan, tapi jantungku berdetak kencang bak bom waktu menunggu waktu yang tepat tuk meledak. Semakin dekat, semakin menjadi jadi degub jantungku tak beraturan, aku pucat. Kulihat wajahku dari spion taxi yang kutumpangi. Kulit putihku membuat pucat itu semakin terang, aku sungguh seperti tak berdarah. Seperti ayam potong di dalam preezer, putih pucat kaku tak berdarah. Seharusnya aku tak seperti ini, aku tak seharusnya berlebihan begini. Kutarik napas agak dalam, lalu kutahan beberapa detik, kemudian kulepas pelan. Dulu ketika aku ikut latihan taekwondo, pelatih mengajariku begitu ketika aku sedang kelelahan atau kesakitan. Ayo jiwaku, tenanglah engkau, tenanglah.

Aku semakin menjadi jadi. Keringatku kini membasahi dahiku, lalu kuusap dengan sapu tangan yang kukeluarkan dari saku celanaku. Kuminta pada supir taxi itu untuk lebih mengencangkan AC mobilnya. Padahal aku sama sekali tak merasakan panas, bahkan kupikir udara disini jauh lebih sejuk disbanding dengan di Medan, terlebih Mesir tempat aku tujuh tahun belakangan ini mengabiskan usiaku.

Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya aku sampai di desa tempat tinggal Eli. Jauh sebelum ini, kalau tak salah ketika aku masih di tingkat tiga Fakultas Usuluddin, aku teringin benar tuk sampai kesini. Dulu aku baru saja menjalin hubungan dengan Eli, hubungan yang aku sendiri tak tahu pasti apa namanya. Kata orang pacaran, tapi aku tak pasti juga. Ada juga yang menyebutnya ta’aruf, atau tafahum. Aku tak begitu peduli dengan kamuflase nama jenis hubungan itu. Bagiku, pisang adalah pisang, meski pisang diganti namanya menjadi kelapa. Kurasa, penamaan sesuatu hanya sekedar untuk mempermudah pengenalan, bukan untuk merubah esensi sesuatu itu. Begitu juga jenis nama hubungan yang terjalin antara aku dan Eli. Tak terlalu penting namanya entah apa, yang pasti dalam hatiku ketika itu ada hasrat untuk menjadikannya pendamping hidupku. Aku menyebutnya pembantu.

Eli sempat marah ketika aku mengatakan akan menjadikannya pembantu. Dia tak bisa menerima jika kusebut ia pembantuku. Terang saja, ia hanya memahami makna pembantu yang sesungguhnya. Setelah kujelaskan arti pembantu bagiku, kurasa ia lebih suka jika kusebut ia adalah pembantuku. Aku ingin mencari seorang pembantu. Pembantuku untuk melengkapi segala kekuranganku. Pembantu untuk menolongku memuahkan keturunan, dan pembantuku untuk mendidik anak anak kami. Bahkan kukatakannya, pembantu untuk menolongku menemukan jalan ke surga. Aku merasa tak mampu mewujudkan semua itu tanpa seorang pembantu, dan kurasa ia adalah orang yang tepat untuk membantuku.

Aku tak begitu peduli tentang kecantikan. Tapi aku juga tak mau jelek jelek amat. Cukuplah wajah sederhana, yang sepadan denganku. Aku juga harus sadar diri, aku bukan seganteng Kaka sipemain bola itu. Hanya saja aku tak sejelek Mbah Surif yang meninggal beberapa tahun lalu. Ah, sebenarnya Mbah Surip pun tak jelek jelek amat, hanya saja waktu dan usia telah menghabiskan kegantengannya. Eli bagiku sudah cukup untuk menjadi pembantuku. Eli pun akan seperti Mbah Surif jika ia telah tua, kecantikan itu akan terkikis sedikit demi sedikit hingga menyisakan keriput yang tak pernah diharapkan itu.

Rumah Eli tak begitu besar. Cat putih bersih itu membuatnya terasa asri, berpadu pada warna hijau pepohonan di kanan-kiri rumahnya. Di halaman depan ada beberapa jenis bunga yang tak begitu kukenali. Semakin dekat aku kepintu rumahnya. Aku tak melihat ada keramaian di dalam sana. Sunyi, sepi seperti tak ada orang di dalam. Jendela yang berwarna krem itu kulihat terbuka. Kaca hitam jendela itu membuat pandanganku tak bisa menembus ke dalam. Kuberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya, meski lututku gemetaran. Sambil menunggu jawaban dari dalam, kulambaikan tangan sebagai isyarat pada supir taxi yang menunggu di tepi jalan depan rumah Eli. Aku lupa, entah berapa kali pintu itu kuketuk. Sambil memberi salam, kuketuk lagi dan lagi. Aku terkejut. Ketika ada suara menyahut dari samping kiri rumah itu. Aku tak paham arti kalimat bahasa Jawa yang diucapkan ibu Eli. Yang kuingat ia menyebutku “mas”. Meskipun sudah sering bercengkrama lewat telefon, tapi kami tak pernah bertemu. Ketika aku di Cairo dulu, aku cukup sering berbincang panjang dengan ibu Eli. Setelah kujelaskan padanya bahwa aku tak bisa berbahasa Jawa, Bu Ndar akhirnya berbahasa Indonesia. Kulihat ia kaget ketika kusebut namaku, Ismail dari Medan. Sepertinya ia tak percaya, sampai ia menanya apakah Ismail yang dulu kuliah di Cairo. Tentu saja aku tersenyum melihat tingkah Bu Ndar yang terkaget itu. Ia pun tak menyangka aku adalah orang yang pernah bertutur panjang dengannya. Katanya Eli sedang tak ada dirumah.

Kujelaskan juga padanya bahwa aku tak bisa lama lama, supir taxi masih menungguku di tepi jalan sana. Aku menolak masuk ke dalam rumahnya, cukuplah sekedar duduk di kursi terasa depan rumahnya. Aku hanya datang tuk sekedar membayar hutang. Banyak hutang yang harus kuselesaikan. Dulu pernah aku berjanji akan datang kerumahnya. Tapi sebenarnya bukan itu tujuan utamaku datang kerumah Eli. Kubuka resleting tasku, kurogoh saku bagian dalam tasku itu. Kukeluarkan kotak kecil yang terbuat dari kayu berlapis kulit kerang mengkilap. Kotak itu sengaja kubeli beberapa tahun lalu. Dari dalam kotak itu kukeluarkan bungkusan plastik kecil, di dalamnya ada gulungan kertas tissu. Pelan pelan kubuka gulungan kertas tissu itu, satu, dua, tiga lebarannya terlepas. Sebuah cincin perak bermata kristal bening kuserahkan pada Bu Ndar.

Cincin itu hampir saja tak sampai ke tanganku. Dulu ketika Eli mengirimnya lewat post, aku harus bolak balik kantor post untuk mengambil cincin itu. Tapi akhirnya aku bisa juga menemukannya setelah menunjukkan code bar amplop surat yang dikirim Eli lewat sms. Awalnya ia tak mau mengatakan jujur apa isi surat yang ia kirim. Setelah kujelas padanya bahwa ada kemungkinan surat itu tidak akan sampai, akhirnya ia mengatakan ada cincin di dalamnya. Eli tau aku suka memakai cincin. Bahkan karena cincin besi yang selalu kupakai membuatnya curiga pada, kalau saja aku telah menikah. Cincin besiku itu memang mengkilap, jika dilihat dari foto atau kamera, tentu saja tak bisa ditebak besi atau perak. Sebenarnya aku ingin memakai cincin perak, tapi belum ada rejeki untuk membelinya. Setelah cincin dari Eli sampai ke tanganku, tak lebih dari tiga kali kupakai. Aku takut kalau saja cincin itu jaruh, atau hilang. Cincin itu bukan tanda ikatan hubungan kami, seperti kebiasaan orang yang bertunangan. Eli mengirimnya untukku karena ia ingin membuat aku senang karena telah memiliki cincin perak seperti yang kuinginkan. Tentu saja aku senang, sampai sampai aku takut sekali kehilangan cincin itu. Sebelum Eli membeli cincin itu, ia menyuruhku mengukur lingkaran jari manisku. Dari situ aku bisa tau kalau ia mau membelikan cincin untukku.

Bu Ndar pun tak tahu sola cincin itu. Terpaksa aku menjelaskan juga padanya bahwa cincin itu bukan tanda ikatan aku dan Eli. Tapi Eli pernah mengatakan kalau saja cincin itu sampai ke tanganku, insyaAllah kami berjodoh. Karena itu aku merasa tak pantas menyimpan cincin pemberiannya itu, terlebih memakainya. Sekarang hampir bisa dikatakan mustahil kami akan berjodoh.

Aku tak ingin menyalahkan siapa siapa. Bukan Eli, bukan juga aku. Kurasa ini adalah takdir dari tuhan yang tak pernah diduga sebelumnya. Setelah aku gagal dua kali berturut di tingkat tiga kuliahku, aku tak mau lagi membuat Eli menunggu lebih lama. Jika saja ada laki laki yang lebih baik datang untuk melamarnya, menikah saja dengannya. Kukatakan padanya begitu. Bukan berarti aku tak ingin menjadikannya pembantuku, tapi aku tak sanggup membuatnya merasa tergantung dengan keadaanku yang tak kunjung selesai kuliah. Sakit?, tentu saja sakit rasanya. Tapi aku tak mau lebih sakit jika ia harus menderita menungguku, sengsara bersamaku dalam satu hubungan yang tak ada ikatan. Itu akan lebih sakit dari apa yang kurasakan sekarang. Cinta itu tak harus memiliki, aku percaya itu. Seperti cintaku pada bulan purnama, aku tak pernah bisa menggapainya. Selalu saja aku memandang ke langit untuk melihat bulan purnama, meski aku harus naik ke atas apartemen yang kusewa bersama teman teman di Cairo.

Sekitar berbincang setengah jam dengan Bu Ndar, aku pemit untuk pulang. Kurasa ia lupa menyuguhkan air minum padaku. Sampai sampai ia menahanku untuk sekedar minum secangkir teh. Tapi aku tak bisa menunggu lebih lama. Kukatakan pada Bu Ndar kalau besok, menyebutkan hari ini, aku harus kembali lagi ke Cairo untuk menyelesaikan kuliahku yang tinggal sedikit lagi. Kuulurkan tangan untuk bersalaman dengannya, aku sudah tak tau lagi harus bagaimana. Pelan tangannya menyambut tanganku, sambil matanya menatap wajahku. Sebuah senyum ikhlas tersungging dari bibirku. Kulihat ada butiran cairan bening di ujung matanya. Entah kenapa ia memelukku, sambil meminta maaf padaku. Kurasakan pelukan itu seperti pelukan ibuku. Tak terasa aku pun ikut meneteskan air mata. Tentu saja bukan takdir bagiku untuk menjadi menantunya, dan ia juga bukan mertuaku. Kudengar isak tangisnya. Sambil kuusap air mataku, kami melepas pelukan itu. Betapapun ini tak patut disesali, apa lagi ditangisi seperti itu. Keputusan Eli untuk menikah dengan laki laki yang melamarnya itu tidak salah. Malah ia sangat keliru jika harus menungguku terus. Tenggang waktu yang diberikannya telah habis, dan aku tak bisa menyelesaikan kuliahku untuk segera menikahinya. Aku ikhlas jika ia bukanlah pembantuku.

Kutitipkan salam untuk Eli dan calon suaminya, lalu aku pergi meninggalkan rumahnya untuk kembali lagi ke Jogja. Di dalam taxi aku hanya terdiam saja. Sesekali kuperhatikan supir taxi lewat spion, kutangkap ia sedang memandangi wajahku yang lesu. Baru saja sekitar lima kilo meter dari rumah Eli, kuminta pada supir taxi itu untuk mengurangi kecepatannya. Aku sungguh berharap bisa bertemu Eli meski di tengah jalan. Barang kali saja kami berselisih di jalan, ketika ia ingin kembali kerumahnya. Sejak lima tahun menjalin hubungan, kami tak pernah bertemu. Komunikasi kami hanya lewat sms, chating dan telefon saja. Aku melihat wajahnya pun hanya lewat foto yang dikirimnya padaku. Bahkan aku tak pernah melihat wajahnya lewat webcam ketika kami chating, tapi ia sering melihatku di webcam.

Tiba detak jantungku berdetak kencang. Mataku menangkap ada orang di depan sana, berboncengan naik motor. Kuminta supir taxi untuk lebih pelan, sambil aku membenarkan posisi kaca mataku. Kupandangi benar benar siapa yang mengenderai motor di depan sana. Sekitar jarak tujuh meter, kulihat seorang perempuan berjilbab diboceng laki laki memakai kaca mata hitam. Ingin rasanya aku teriak meminta perempuan itu agar memalingkan wajahnya ke arah taxi yang kutumpangi, tapi itu tak mungkin kulakukan. Mataku semakin lengket menatap perempuan itu. Oh, akhirnya ia memalingkan pandangannya ke arahku. Sepertinya ia adalah Eli. Tapi aku tak bisa jelas melihatnya. Kuputar leherku untuk bisa memandang ke belakang. Tapi aku tak puas. Kuminta supir taxi untuk menghentikan taxinya, lalu aku turun dan melambaikan tanganku pada orang itu yang telah membelakangiku semakin jauh dan jauh. Sumpah, aku ikhlas. Suaraku lirih mengucapkan kalimat itu sambil terus melambaikan tanganku sampai Eli yang tak pasti itu menghilang di ujung sana.

Aku masuk kembali ke taxi, dan terdiam seribu kata. Lagi lagi supir taxi itu mencoba memandangiku lewat spionnya. Aku tahu ia penasaran karena tingkahku itu. Tapi aku tak ingin menjelaskan padanya apa yang sedang berlaku. Astaga, wajahku pucat lagi. Tapi sudahlah, aku tak peduli dengan itu semua. Aku puas, meski sakit. Aku ikhlas meski hati kupaksa untuk itu. Kemarin itu, dari Jogja aku naik pesawat malam ke Jakarta.

Hari ini aku akan meninggalkan kembali bumi ini, negri tempat aku dilahirkan, tempat dimana cinta harus kutinggalkan untuk mencari cinta yang lain, cinta yang tak ada larangan seperti ini. Aku akan menggenapkan usiaku delapan tahun tinggal di Mesir. Meski pun aku tak tahu pasti, bisa atau tidak. Kepulanganku setelah tujuh tahun ke tanah air ini hanya untuk melunasi hutangku, mengembalikan barang yang pernah menjadi hakku. Biarlah masa lalu itu terkubur bersama waktu yang akan terus berlalu, meninggalkannya jauh dan lebih jauh lagi. Meski terasa berat, aku tetap harus memikul beban ini, aku mesti membawanya kembali entah sampai kapan. Aku akan tetap menjadi musafir yang tak pernah kunjung sampai, berjalan bermil-mil jauhnya melewati lembah dan gunung, laut dan daratan.

Kudengar dari speaker yang dipasang di ruang tunggu bandara Soekarno Hatta suara seorang petugas mengatakan penerbangan menuju Abu Dhabi akan segera berangkat. Aku akan transit disana, dan meneruskan perjalanan menuju Mesir, yang telah kuanggap tanah air kedua, meski aku tak pernah mencintainya seperti Indonesia. “Aku kembali ke Mesir, semoga bahagia. Sumpah, aku ikhlas, by ISMAIL”. Kutulis pesan singkat, lalu kukirim ke nomor Eli. Setelah itu aku buru buru mematikan HP-ku, lalu mengeluarkan sim card-nya dan membuangnya di tong sampah ruang tunggu. Aku tak ingin membaca apapun balasan dari Eli, aku tak mau membuat keikhlasanku ini kembali meradang hingga aku harus memaksanya lagi.

Genangan masa akan mencair dan lenyap menguap
Kenangan lalu akan membeku dan melekat
Masa dan kenangan tak kan pernah betemu
Bermusuhan laksana kemarin dan lusa
Buram ingatan karena masa
Indah kenangan ketika waktu semakin larut jauh

*Cerpen ini pernah terbit di buletin Sahata KPTS edisi III 2009
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : KPTS MESIR | Group KPTS
Copyright © 2011. SAHATAonline - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger