Sumpah, Aku Rindu - SAHATAonline
Headlines News :
Home » , » Sumpah, Aku Rindu

Sumpah, Aku Rindu


Oleh: Elma Yeha*

Sumpah aku rindu!. “Kun shadiqy”, suara Magdah Roumi mendayu menemani relung malam yang terasa semakin dalam. “Aku sunggu lelah dengan cerita asyik ini”, lanjutnya semakin menyiksa perasaanku. “Ana muhtajatun jiddan…”, ya… aku sungguh membutuhkannya. Lagu ini betul betul mengganggu perasaanku. Aku semakin hanyut dalam rasaku sendiri. Seakan aku telah menyesali kenapa aku harus menjadi aku, seakan aku telah benci padaku sendiri. “Takallam… takallam”, seakan ia bernyanyi untukku, untuk menyuarakan rasa yang kini ku pendam.

“Sumpah, aku rindu. Kirim sms ya, plz…”, ku ketik di layar ponselku. “Send”,… ah, aku sunggu benar benar berharap ada sms dari ia yang kurindu. Hingga aku rela mengirim sms berbunyi seperti itu. Kedengarannya lucu, seakan aku sungguh tak mampu menahan rasa, hingga aku lupa diri. “Message sending failed. Chek details!”, ah… pulsaku habis. Aku mengira masih cukup untuk mengirim satu sms lagi, ternyata tidak.

Selama tiga tahun belakangan ini, mungkin ini adalah rasa yang paling dahsyat dalam hatiku. Di usia yang hampir kepala tiga ini aku masih sendiri. Jauh dari mereka yang ku cinta, jauh dari mereka yang menyintaiku. Sebenarnya ini sangat menyiksa, tapi sungguh aku menikmatinya. Memang tak dapat didustakan, ada saat saat aku ingin sendiri, ingin lepas dari semua rasa cinta yang ada. Tapi aku tak bisa bertahan lama.

Kucoba menatap lilin lilin yang menyala di langit sana. Lilin lilin itu tinggal sedikit saja. Mungkin mereka akan hilang ketika malam semakin jauh, mendekat subuh. Hampir pukul empat dini hari aku masih belum bisa memejamkan mataku. Selalu saja ada lagu lagu yang menamiku ketika aku merasakan rasa seperti ini. Terkadang lagu “gaun merah” Sonia berulang ulang ku dengarkan. Samapai samapi teman kamar sebelah merasa muak mendengarnya, tapi aku tidak. Belum lagi lagu best friend yang selalu dilagukan Kiroro, penyanyi asal Jepang itu. Terkadang aku mendengarkan “arigato”, masih dengan suara emas Kiroro juga. Jujur, sebenarnya aku tak mengerti dari semua lirik lagu lagu itu. Aku hanya bisa meraba dengan pendengaranku, yang kurasa semuanya cocok untukku. Entahlah, mungkin orang akan menertawakanku jika aku menceritakan ini semua. Gengsiku akan tercabik cabik. Biarlah semuanya kupendam dan kukubur jauh di dalam memoriku, sampai batas waktu yang tentunya tak dapat ditentukan. Akan ditinjau ulang jika terdapat kekeliruan, begitu kira kira bahasa resminya. Seperti dalam undang undang saja.

Kisah ini sudah klasik. Seperti kata Magdah Roumi tadi, “Aku sunggu lelah dengan cerita asyik ini”. Tapi tetap saja kisah asyik ini terpahat indah bak relief di langit langit mataku. Seakan mata ini bisa mendengar dan merasa semua kisah ini. Seakan mata ini mampu meraba setiap lekukan yang membentang dari ujung ke ujung. Sebut saja ini kisah cinta tak sampai. Boleh juga dikatakan cerita hubungan jarak jauh. Bagiku, apapun nama kisah ini tidaklah begitu penting, yang pasti semuanya nyata. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan, begitu kira kira bahasa Harun Yahya ketika ingin membuktikan kebenaran.

Kembali mataku menatap lilin malam yang semakin sedikit di langit sana. Kedip kedipnya hampir tak dapat tertangkap mata. Di ufuk Timur langit mulai terang, subuh tinggal beberapa menit lagi. Disini aku masih saja membiarkan jendela kamar terbuka lebar. Masih saja aku mengunci semua celah ruangan rinduku, agar tak ada yang keluar. Aku ingin rasa ini tetap dalam kamar hati, terkurung dalam sangkarnya selama aku masih kuat. Aku sadar, aku juga manusia seperti yang lain. Manusia yang mampu mencapai titik jenuh yang tak memiliki standart. Jika aku sudah tak mampu lagi, biarlah rasa itu lepas dan hilang semaunya. Hingga satu saat ia akan kembali dan bersarang lagi dalam sangkarnya. Terus begitu, entah sudah berapa kali.

Kenakalanku sering kali membuatku tersenyum sendiri. Aku tak tau seperti apa aku ini. Terkdang lupa batas batas kewajaran dalam bercanda. Selagi ia masih bisa tertawa cekikikan mendengar cerita nakalku, kurasa itu tak jadi soal. Dulu sering kali kuucapkan, “jangan nakal ya disana”, sebelum kalimat itu membuatnya marah. Eli pernah tersinggung karena kata kataku itu. “Emang aku perempuan apa?, kok harus dibilang nakal”, katanya. Merasa ia tersinggung, aku cepat cepat minta maaf. Betul, aku tak pernah berniat membuatnya tersinggung. Sungguh, kata kataku itu hanya selorohku saja. Sejak itu aku tak pernah lagi mengatakan kalimat itu. Aku tak ingin itu terulang. Sekitar tiga hari lalu mengucapkannya di telefon, tapi itu tak sengaja, refleks. Ini jenis kenakalan orang dewasa, karena aku bukan remaja lagi. Sebetulnya tak baik jika aku bercerita panjang tentang kenakalanku sendiri, aib.

Eli itu dikenalkan Nia kakaknya padaku. Meskipun kami hanya berkomunikasi lewat dunia maya, tapi Nia merasa yakin padaku. Aku yang memintanya mengenalkan adiknya padaku, “sapa tau jodoh”, alasanku ketika itu. Benar saja, kami jadi berkenalan. Dekat dan semakin dekat. Awalnya aku sendiri tak yakin bisa seperti ini. Terkadang berjam jam aku bercerita dengannya lewat telefon. Mulai A sampai Z, 0 sampai 9 berganti tak terhitung, kami bertutur panjang. Tak jarang sampai batrey ponsel-pun sampai habis. Inilah cerita asyik yang melelahkan.

Pernah aku merasa tersinggung dengan tingkahnya. Ketika itu aku sedikit lelah dengan kegiatanku yang tak menentu. Di hari ulang tahunnya kusempatkan mengirim sms ucapan selamat, meskin agak telat. Aku sudah mengatakan padanya tak bisa menelfon di hari ultahnya. “Emang sapa yang ultah hari ini?”, itu jawabannya yang kuterima. Darahku mendidih, emosiku melangit tinggi tak terkendali. Betapa tidak, aku sudah bela-belain buat mengirim sms, meski aku sibuk tak menentu. Kondisi fisik yang ketika itu tak stabil membuat emosi cepat naik tak tau aturan. Sejak saat itu aku diam. Berkali ia sms tak pernah kubalas. Ia juga menelfonku, “mengganggu tidak?”, tanyanya. “Iya”, jawabku ketus. Padahal aku tahu berapa biaya yang ia keluarkan buat SLI dari Samarinda Kalimantan untuk menghubungiku yang jauh di negri Firaun. Aku betul betul kehilangan akal budiku. Mungkin lebih dua bulan aku membisu. Ketika itu masa ujian pun tiba, semakin cocok bagiku tuk melupakan semuanya. Aku sibuk dengan pelajaran pelajaranku yang masih banyak ketinggalan. Tapi aku tetap saja tak tega ketika ia dalam kesusahan. Aku sadar, aku adalah inspirasi baginya. Kubalas juga smsnya. Aku tak ingin membuatnya benar benar terpuruk dan tak bangkit lagi. Kuberikan ia motivasi untuk tetap bertahan dan menyelesaikan masalahnya sampai tuntas. Hanya itu yang mampu kusumbangkan untuknya. “Hiduplah untuk keluargamu, agamamu dan masa depanmu”, tulisku dalam sms yang kukirim hari itu. Kudapati ia sudah tak tau arah hidupnya, aku takut ia bunuh diri. Tentu saja buka bunuh diri karena aku, tapi karena masalah yang dihadapinya memang cukup berat.

Sebetulnya aku masih saja perhatian, lihat saja isi sms-ku itu. Dan perhatian itu yang sebtulnya ia butuhkan. Ketika aku terlambat mengucapkan selamat ulang tahun, ia merasa aku tak lagi memperhatikannya. Aku tau itu setelah teman dekatnya bercerita padaku. “Abang sudah tak perhatian lagi padaku”, kata Dian bercerita menirukan apa yang dirasakan Eli.

Betul. Kata orang, lawan kata “cinta” bukanlah “benci”, melainkan “tidak perhatian”. Ketika ia merasakan tak lagi diperhatikan, otomatis ia merasa tak lagi dicintai, benarkan?. Aku tentu saja tidak bermaksud begitu, karena logikaku bermain ketika itu. Pikiranku tertuju pada prioritas yang harus didahulukan. Aku sudah menelfonya sehari sebelum ia ultah, kurasa itu sudah cukup. Sms yang kukirim itu hanya pelengkap dari semua rangkaian sambungan telefonku sebelumnya. Tapi logika seperti itu tak berlaku bagi wanita.

Setahun sebelum itu kami juga sempat sedikit tegang. Gara garanya masih saja tentang ultah. Di hari ultahnya aku tak mengirimkan sms ucapan selamat. Boro boro mau menelefon, aku malah tak ingat hari itu ia ultah. Aku sadar ketika ia mengirim sms berbunyi, “happy birthday to me”. Astaga… aku lupa ia ultah hari itu. Aku tentu saja minta maaf karena kelalaian itu. Mamanya pun jadi mengirim sms padaku. Tentu saja ini salahku, lalai. Tak enak dengan mamanya, aku jelaskan saja apa adanya. Sukurlah mamanya bisa memahami. Bagiku, ucapan selamat seperti itu tidaklah berarti sekali. Lain kepala, lain isinya. Baginya momen seperti ini benar benar berarti. Belakangan aku baru tahu, kalau sms yang dikirim lewat ponsel mamanya itu adalah tulisannya. Mamanya malah tak pernah mengirim sms, tak pandai katanya. Tapi sudahlah, aku jadi tahu sejak itu. Setelah kejadian itu aku membuat reminder di ponselku, “ultah Eli”, supaya aku tak lalai lagi. Ternyata masih saja setahun setelah itu aku tetap saja lalai, malah dampaknya lebih parah dari sebelumnya. Ke depan, ku harap kejadian seperti itu tak terulang lagi. Jadi, setiap tanggal…, tanggal…, astaga… tanggal berapa ya?. Astaga, aku benar benar lupa tanggal berapa Eli ulang tahun. Sebentar, kulihat reminder di ponselku. Ya tuhan, dimana kusimpan. Jangan jangan sudah terhapus tak sengaja.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : KPTS MESIR | Group KPTS
Copyright © 2011. SAHATAonline - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger